Sabtu, 16 April 2011

buatan saya


fortunately me

kenapa harus aku? Kenapa nggak orang lain aja yang musti ngerjain PR setiap malam, mesti sikat gigi sebelum tidur, musti cium pipi mama dan papa sebelum tidur, aku bosan dengan semua yang aku lakukan setiap hari! Gerutu Moel—gadis 8 tahun yang sekarang lagi mogok melakukan apa pun.
Dia ngomong ngaco gitu karena dia belum ngerjain PR aljabar, dan yang paling ia benci ialah ia harus mengumpulkan tugas itu sehari sebelum malam natal. Bayangkan! Ada PR sehari sebelum malam natal. Itu pasti sangat memuakkan.
Kini—Anastasia Moel hanya memandangi buku aljabarnya sambil memandang ke arah luar jendela kamarnya yang tergolong kecil itu, berharap seseorang dapat menolongnya. Andai muncul pahlawan seperti sailormoon yang dapat membawanya ke bulan, atau robot Gundam yang dapat membawanya ke luar angkasa, atau setidaknya penyihir yang bisa membawanya terbang tinggi sambil dapat menikmati indahnya bumi yang dilihat dari ketinggian, tanpa perlu memikirkan PR aljabar yang memuakkan itu.

Tapi—kayaknya ada penolong yang beneran datang.
Tapi nggak secantik Usagi di sailormoon, atau sekeren robot-robot gundam atau secanggih penyihir dengan sapu terbang.
Yakni muncul seorang gadis kecil yang sepantaran dengan Moel dan tiba-tiba muncul dari jendela kamarnya di lantai dua.
“Hei.. Hei.. Kenapa hatimu murung, lusa malam natal—apa yang kamu pikirkan? Harusnya tuh ya` kamu bahagia karena keselamatan akan segera datang. Bukannya malah bingung..” oceh gadis aneh yang menyerobot masuk tanpa seijin Moel. Gadis itu berambut cokelat, berpakaian jubah merah disertai bulu-bulu putih seperti santa Claus. Bener deh.. Kayak Santa Claus.
“Orang aneh..! pergi, sebelum aku panggil Mum..!!”
“Tenang, tenang, aku tau kok masalah kamu.” Anak itu duduk dengan tidak sopan di meja belajar Moel sambil bertolak pinggang seakan melawan. Sedang Moel terjatuh dari kursi saking shock-nya melihat seseorang bisa masuk lewat jendela di lantai dua.
“Tahu masalah aku? Emangnya kamu Tuhan—kurang ajar banget sih, kamu..”
“Ya aku bukan Tuhanlah—masa cewe ceroboh macam aku ini Tuhan. Tapi—gue punya relasi sama Tuhan, karena… aku..”
Moel mendengarkan kata-kata anak itu dengan seksama.
“Karena aku—anaknya Santa Claus..” mendengar kata-kata bahwa gadis ceroboh yang berpakaian mirip Santa Claus itu memang anaknya Santa Claus, Moel tertawa terpingkal-pingkal sampe perutnya goyang-goyang.
“Jangan tertawa ah.. Kamu itu orang ke 7958 yang nggak percaya aku ini anaknya si kakek gendut berjubah merah yang dengan baik hati membagi-bagikan hadiah saat malam natal itu. Tapi—memang betul lhoo..” kata gadis itu sambil mengacung-acungkan tangan agar Moel percaya.
“Oh ya? Kenapa aku harus percaya omonganmu?” Moel masih tak percaya.
“Ya memang itu sebenarnya—beneran deh,”
“Ya udah. Yakinkan aku bahwa kamu memang anaknya Santa Claus..” gadis yang mengaku anaknya kakek baik hati itu berpikir. “Tahun lalu kamu diberi jam kukuk bergambar Santa Claus dan rusa rusa kutub. Ya`kan..?” Moel ternganga. Memang benar itu hadiah yang diterimanya tahun lalu. Masih bagus kok jam kukuknya.
“Dan kamu diberi sedikit batu bara, karena sesaat sebelum malam natal kamu memukul anjing tetanggamu. Ngg… siapa itu pemiliknya.. Ooh.. Aku lupa.. Step.. Ahh.. aku hampir ingat.. Siapa ya.. Namanya seperti pemain sepak bola..” Moel akhirnya harus mengakui bahwa memang anak sok tahu itu memang anaknya Santa Claus. Buktinya udah cukup jelas.
“Namanya Stephenson.. aku mukul anjingnya karena anjing bodoh itu menarik jemuran mama.” Akunya.
“Nah, sekarang kamu percaya`bukan?” Moel mengangguk.
“Mau kuberi bocoran, mungkin tahun ini kamu akan mendapat lebih banyak batu bara dibanding tahun lalu—habis sekarang aja kamu udah menggerutu Cuma gara-gara nggak bisa aljabar..”
“Kau menyalahkanku..? Itu bukan salahku. Salahkan saja Albert Einstein yang kurang kerjaan mencari ini itu yang sebenarnya nggak terlalu diperlukan dalam menjalani hidup. Dan pria itu telah menyiksaku dengan segala temuan-temuannya…”
Dua anak perempuan yang baru aja kenalan itu kini memandangi langit lewat jendela kamar Moel. Lalu gadis superheboh—yang ngaku-ngaku anak Santa Claus itu teriak-teriak lagi.
“So—What do you waiting for..? malam ini kamu harus mengikutiku dan akan kutunjukkan banyak hal menarik…” gadis kutub itu menarik-narik tangan Moel dengan nada amat bersemangat. Belum puas gadis kutub juga menggoncangkan badan Moel sampai perut Moel menjadi amat mual dibuatnya.
“Kamu mau kemana, Moel.. Jawab.. Moel.. Jawab..!!!” gadis kutub itu masih menggoncang-goncangkan badan Moel. Karena Moel masih mual dia hanya menjawab, “Udah ke bulan sajalah…”

TRRRRIIIINNG……

Ketika Moel membuka mata, kini yang dihadapannya ialah Sailormoon. Yakni Usagi yang berubah bentuk menjadi sailormoon. Tapi bedanya di kartun yang biasa dilihat Moel, Usagi amat baik—tapi yang dihadapannya, mata Usagi menunjukkan kemarahan.
“Ahhh…Sailormoon..” dicobanya untuk mencairkan suasana.
“Musuh darimana kamu ini..? Mau merebut terangnya bulan ya… Ngaku.. Tidak akan aku biarkan. Dengan kekuatan bulan, akan menghukummu..” tongkat yang biasa dipakai Sailormoon diacungkan ke leher Moel.
“Bukan, aku bukan kaki tangan kegelapan. Bener deh,”
Kayaknya ucapan itu diacuhkan Usagi, Usagi justru lari mengejar Moel. Mereka malah mirip main kejar-kejaran. “Tolong… Tolong… Usagi kan baik—kok disini justru malah mirip Lucifer… Tolong..”
Cukup lama Moel berlari dia baru sadar bahwa dia memang benar-benar di bulan. Bentuk bulannya bukan bulat tapi berbentuk bulan sabit. Bulan tempatnya sedang berada sekarang—dapat melihat bumi dari jarak yang nggak terlalu jauh.. bahkan Moel dapat melihat rumahnya dari bulan.
Dan dari sana—ia melihat seorang gadis menangis disalah satu rumah dibumi. Moel kontan berhenti dari larinya dan berkata, “Ada seorang anak menangis..” Usagi juga berhenti mengejar Moel. “Dimana, dimana?” “Itu..”
Usagi kemudian menunduk ternyata ia mengambil sebongkah batu dari bulan dan dengan tongkat dilemparkannya bongkahan batu bulan itu ke arah anak yang menangis. Seperti sihir anak itu kembali tertawa. Moel terkejut sekali dengan pemandangan itu.
“Bagaimana mungkin?”
“Itu memang tugasku anak kecil. Ternyata kamu bukan orang jahat. Cuma anak nakal yang nyasar ke bulan.” Kata Usagi. Ia mendekati Moel dan dirangkul hangat. “Memang siapa musuhmu sekarang?”
“Orang yang hendak mengambil terang bulan ini. Bumi masih membutuhkan bulan. Anak-anak juga membutuhkan bulan untuk menghilangkan kesedihannya. Makanya kalau kamu lagi punya masalah dan kamu melihat ke arah bulan, perasaanmu terasa tenang, bukan.. Itu tugasku..”
Oooh.. Pantas, ini alasan kenapa ketika melihat bulan perasaanku tiba-tiba nyaman.. Kata Moel dalam hati.


ZIIIIP….
Pemandangan dimata Moel berganti. Bukan lagi di bulan sabit bersama Usagi Sailormoon melainkan kini ia berada di sebuah ruang kendali robot. Tepatnya robot Gundam bersama Kira Yamato.
“Nyasar darimana, kamu?” Tanya cowok itu dingin..
Moel itu nggak menjawab karena dia sedang menikmati pemandangan luar angkasa yang ada dihadapannya, robot itu sedang terbang dengan cepatnya. Kagum barangkali dia.
“Hei.. Penyusup!! Jangan sok manis deh..”
Barulah Moel sadar akan teguran itu. Ia juga melihat Kira Yamato dengan tatapan tidak percaya. “Waah—lebih tampan dari di komik..” ucapnya dalam hati.
“Jawab penyusup bodoh… Darimana kamu berasal.. Mau merusak ketenangan bumi, Hah?” teriaknya.
“Nggak—nggak, aku Cuma gadis kecil yang nggak tahu apa-apa yang tiba-tiba bertemu dengan gadis kutub anaknya Santa Claus dan tiba-tiba aku dibawa ke bulan bersama sailormoon dan sekarang aku nyasar ke luar angkasa bersama robot gundam dan Kira..”
Kira geleng-geleng dengan penjelasan anak kecil itu.
“Kamu ini pintar sekali bohong, bilang pakai acara ketemu anaknya santa claus, ketemu sailormoon di bulan. Aneh.” Omel Kira yang tetap konsen menjalankan robot gundamnya yang berjalan dengan cepat mengitari bumi. Mungkin untuk mengawasi bumi
Lalu tampak dari kejauhan ada bongkahan batu besar sekali.
“Sial.. Asteroid lagi, untuk hari ini ini asteroid ke 59.760.” katanya, lalu Kira menengok ke Moel. “Anak kecil, foto asteroid itu.. kameranya di kotak itu..” Moel pun menjalankan yang diperintahkan Kira. Habis—Kira dingin. Moel mengambil kamera lalu memotret asteroid itu dari ruang kendali.
“Sudah.” Katanya. “Siapa namamu?” “..Moel..” jawabnya lugu.
Lalu Kira memproses computer di depannya, dari intipan Moel sih, Kira mencatat asteroid yang tadi dipotret Moel dan memasukkannya ke arsip. Ternyata maksud Kira menanyakan nama Moel ialah, karena Kira menamakan asteroid itu Moel. Kaget juga sih
“Boleh aku lihat?” Tanya Moel. “Boleh. Lihat di computer sebelah sana. Sudah jangan ganggu aku. Aku harus berkonsentrasi..” Moel bergerak ke kanan sedikit dan dia mulai mengoperasikan computer, baru sebentar ia mengoperasikan computer, terdengar dentuman keras.
BBOOOUUM..
Getaran amat terasa, hingga Moel terjatuh.
“Apa itu?”
“Asteroid itu baru aku hancurkan, agar tidak merusak bumi..” Moel pun mulai berdiri dan mengoperasikan koputer lagi, ternyata computer itu isinya data-data tentang robot-robot gundam yang keren-keren itu serta pemilik robot-robot itu. Selain itu banyak sekali benda-benda langit tersimpan lengkap di computer itu. Termasuk asteroid Moel yang baru saja dihancurkan.
Yang membuat Moel menganga ialah disalah satu file terdapat hitung-hitungan ala Einstein, termasuk juga rumus aljabar yang amat dibenci Moel.
“Buat apa rumus-rumus nggak penting ini?” Tanya Moel.
“Nggak penting katamu? Dasar bodoh, bagi pengendali gundam, hitung-hitungan mudah itu sudah diluar kepala, kami membutuhkan itu untuk menghitng berapa diameter benda-benda langit yang ada, mengukur berapa kekuatan yang harus kami keluarkan untuk menghancurkan asteroid-asteroid yang akan kebumi. Juga untuk banyak hal…”
Moel menganga, ternyata ada gunanya juga belajar aljabar. Bahkan bagi pengendali gundam macam Kira saja, aljabar itu sangat penting. Kini pikiran Moel tentang aljabar berubah. Dia berjanji akan belajar giat, Kira saja mau berusaha keras menjaga bumi, sebagai balas budinya, Moel akan belajar sungguh-sunggguh agar pengorbanan Kira tidak menjadi sia-sia.
Tiba-tiba

ZZZZZIIIIINNGGGG…..

Pemandangan dihadapan Moel berganti lagi untuk ketiga kalinya. Kini ia berada di sapu terbang. Didepannya juga ada penyihir yang mengendalikan sapu terbang, baru satu kali ini, Moel melihat indahnya kota dari atas langit.
“Hei.. Hei.. Darimana asalnya kamu…”
“Aku nggak tahu…”
“Oh no no no. Sekarang aku paham, kamu mau mengikuti perjalanku bukan, kau mau jadi pengikutku, bukan.. Kikikikiiiikki..” tawa penyihir itu dengan lengkingan keras. Karena cukup kencang, Moel tak banyak bicara dan hanya diam saja sampil berpegangan erat dengan sapu terbang itu.
Tapi belum terlalu lama, penyihir itu berkata,
“Maaf nak. Malam ini aku akan kencan—jadi lain kali sajalah jalan-jalan kita..” dengan sengaja penyihir itu memutar sapu terbang 360 derajat dan menjatuhkan Moel, Moel berteriak ketakutan…
“Tuhan.. Aku belum mau mati..” teriak Moel.
Walaupun jatuh, tetapi Moel belum mati. Dia jatuh di tumpukan jerami di gerobak besar. Ia pun berdiri, pemandangan apa yang akan ia lihat setelah ini..? mengapa malam ini begitu aneh, kata Moel dalam hati. Mungkin karena tadi sebelum tidur aku belum berdoa, jadi aku mimpi aneh begini.
Lalu Moel keluar dari gerobak yang cukup besar itu.
Yang dilihatnya ialah suasana yang jauh sekali dengan kotanya yang gemerlap dengan cahaya lampu berkilau, gedung-gedung pencakar langit dan gemuruh mobil hilir mudik. Yang dilihatnya ialah kota kumuh, kotor, jorok, tanpa lampu ribuan watt dan nggak keren banget deh. Tidak hanya itu kota itu sepertinya dipenuhi oleh orang-orang sakit yang hanya ditaruh dipinggir jalan dan bau yang keluar dari orang-orang itu sangatlah menjijikkan.
Tetapi, diantara orang-orang yang sakit itu ada seorang tua renta yang merawat orang-orang di pinggir jalan itu. Maka, dihampirilah orang tua renta itu oleh Moel. Dan ternyata ia mengenal orang tua renta itu. Nenek tua itu Ibu Theresa.
“Bunda Theresa..?” teriaknya.
“Ya Nak, memang itu namaku. Apa badanmu sedang sakit..?”
“Tidak. Aku hanya penggemarmu, kumohon berbincang-bincanglah denganku sebentar. Kau itu ibu kebanggaan anak-anak.” Cerocosnya. Orang-orang disana memandangi Moel dengan tatapan aneh.
“Kau sakit, Nak? Tapi badanmu tidak panas..?” Ibu Theresa memegang dahi Moel
“Tidak Ibu. Aku ini memang penggemarmu..” Moel menarik-narik tangan Ibu Theresa. “Bagaimana mungkin kau mengenalku, mereka yang sakit pes dan aku rawat saja tidak mengenalku, dan sekarang kau berkata kau penggemarku, itu mustahil.” Jawab Ibu Theresa dengan penuh kelembutan.
“Hei, Suster, sudahlah acuhkan saja anak ngaco itu. Aku masih butuh perhatianmu.. Lihat penyakit ini sudah hampir membuatku mati..” kata seorang bapak-bapak tua yang memang kakinya penuh dengan borok dan baunya amat menyengat.
Tapi, dengan penuh kelembutan, Bu Theresa, merangkul Moel dan berkata, “Jangan begitu, mungkin anak ini teringat dengan ibunya yang mungkin memiliki nama yang sama denganku dan ia sedang berkhayal.” Katanya, “Nah, Nak, kalau kau mau, Bantu aku melayani orang-orang ini..” dalam hati Moel berkata, mana mungkin aku berkhayal, sedang nama ibuku saja Samantha. Berbeda jauh dengan Bu Theresa. Karena tidak mau membuang kesempatan emas untuk memandangi wajah lembut Ibu Theresa, Moel mengangguk dan ikut membantu pekerjaan Ibu Theresa.
Disanalah ia belajar banyak. Bahwa, hidup itu perjuangan. Tinggal bagaimana usaha manusia untuk bertahan dalam hidupnya dan bagaimana usaha mereka untuk membuat hidup mereka lebih berharga dan berwarna. Juga hidup itu pilihan. Bu Theresa memilih untuk melayani walau ia tidak terkenal, namun dia akan tetap dikenang.
Moel benar-benar membantu orang yang kena penyakit sampar dan pes disana. Dan pendapatnya tentang hidup berubah setelah hari itu. Ia tidak akan mengeluh lagi hanya karena tugas aljabar harus dikumpulkan sehari sebelum malam natal.


ZZZZZUUUUMMMM

Moel mengucek-ucek mata. Ia bangun dari tidurnya. Akhirnya mimpi aneh itu selesai sudah.
Tuh`kan ini gara-gara aku nggak berdoa sebelum tidur. Moel memutuskan untuk berdoa dan semoga ia nggak mimpi aneh-aneh lagi. Dia memejamkan mata, membuat tanda salib dan berdoa. Setelah itu, ada sesuatu yang mengganjal perasaannya.
“Disamping ranjangnya, terdapat bongkahan batu bara kecil, juga bongkahan batu seperti batu dari bulan ketika ia berpetualang ke bulan dan bertemu Usagi. Selain itu ia menemukan juga perban yang tadi ia gunakan saat menoolong orang yang kena penyakit sampar saat membantu Ibu Theresa.

Jadi, Gadis Kutub itu nyata…?

anti perjodohan

TIDAK! Apa dunia ini so greazy by now?Atau orang-orang mulai memakai sepatu pada kepala mereka? Atau yang lebih mengerikan lagi, Bumi memutari bulan selama 24 jam.
By the way ini lebih mengerikan dibandingkan itu semua. Mereka pikir umur gue berapa? Apa mereka pikir karena aku baru berumur 16 tahun sedang mereka sudah kuliah mereka dapat semaunya padaku.
Bayangkan! Umurku baru menginjak 16 tahun dua bulan yang lalu. Masa, harus ‘dijodoh’in’ segala. Please gitu loh! Ini bukan jaman Siti Nurbaya. Tapi jaman Siti Nurhaliza, atau jaman Krisdayanti yang memakai pernak-pernik yang sama sekali tidak cocok dengan style-nya. Seperti style Miranda. Cewe ganjen yang sukanya make apa aja untuk penampilannya. Padahal nilai kimia dia 0 besar.Tapi untuk penampilan kita hadahkan nilai 80.
Tidak sepertiku. Yang sama sekali gak mikir tentang style. Buat apa.. toh hasilnya ‘podo mawon’ Shintya tetap Shintya. Tak ada satupun yang berubah darinya walau didandani secantik apapun. Buktinya walau gak dandan banyak cowo yang kesengsem sama muka chinaku.

Ini dimulai ketika ide gila kakak kembarku. Aku dilahirkan dengan kenyataan bahwa sebagai anak bontot yang biasanya paling disayang. Mana ketiga kakakku laki semua. Tentu anak perempuan bontot paling disayang.
Kakak pertamaku namanya Melvyn. Kuliah di UKI. Dari sudut pandang anak cewek, dia termasuk kategori keren. Tinggi jangkung. Dan jago basket. Suka pakai Gell, yang memperlihatkan bahwa ia lelaki rapih.
Kakak kembarku namanya Gerry dan Gerald. Hanya berbeda 2 tahun Sekolah kami sama. Gerry dan Gerald banyak cewek yang naksir. Tapi mereka belum mau milih cewek. Paling Cuma kenalan dan tidak berniat serius. Sudah puluhan gadis di kelasku yang memintaku untuk membantu kedekatannya dengan 2 kakakku. Tapi hasilnya nol besar. Mungkin mereka terlalu sibuk dengan jodohku.


Malam-malam dingin begini paling enak tidur. Apa daya banyak tugas bertumpuk dan bersiap membuat kedua mataku berkunang-kunang. Saat itulah kedua kakak kembarku datang dengan muka jahilnya. Gue muak ngeliatnya. Pasti ada ide gila lagi.
“Koko ngapain sih? Gak tau sekarang jam sebelas, waktunya anak perempuan untuk tidur. OK…???!!!” kataku marah.
“Ntar, dulu dong, anak manis. Kita punya cowo nih..” kata Gerry dengan muka penuh harap. Ooh.. siapa lagi ini? Apa Henry, cowok kuliahan sudah kerja bahkan umurnya lebih tua lima bulan dari kakak tertuaku. Atau Joseph, cowok culun punya (cupu) yang usianya lebih muda sebulan dariku.
“Kalo seperti Henry, Joseph, Mario dan lainnya… tidak deh, makasih koko.. aku bisa nyari sendiri kok. Banyak kok yang naksir aku,” Kataku dan masuk keselimut. Namun Gerry yang gigih segera menarik selimutku. Gerald nampaknya sibuk memperhatikan foto-foto dimeja belajarku.
“Ooh, tidak adikku sayang, sekarang cowo ganteng, tinggi, pinter, tajir lagi pokoknya dijamin sukses sama lo. Iya, gak, Rald?” Tanyanya pada koko Gerald yang sedari tadi memperhatikan foto-foto.
“Ah, iya, iya..” katanya kikuk.
“Rald, lo ngeliat’in foto apa sih?” Tanya Gerry lagi.
Saat itulah Gerald mendatangi kami dan duduk ditepi ranjang. Sambil menatapi serius foto itu.
“Foto apa sih?” Kayaknya koko Gerry sedikit kesal pada kembarannya yang dari tadi tidak membantunya nyomblang’in aku. Dengan kasar direbutnya foto itu.
“Ini siapa Shin?” Tanya Gerry tiba-tiba, Aku jadi tertarik siapa yang dimaksud kedua kokoku. Ooh God. Itu Heribertus, ketua kelasku, aku dan dia difoto sebagai kenang-kenangan ketua dan wakil ketua kelas. Maka kami berpose sedikit berlebihan. Nah, ini kesem patan bagus.
Ini adalah cara satu-satunya. Agar koko-kokoku yang reze meng hentikan penyomblangan ini. Dengan berpura berpacaran dengan ketua kelasku. Apalagi Bertus orang yang mudah dimintai tolong. Aku berkata dengan pasti.
“Koko. Udah ya, gue gak mau dicomblang’in. Nanti orang yang difoto ini marah loh, dia cowok gue. Namanya Bertus. Elo aja yang gak pernah liat…”
Gerry dan Gerald bertatapan hampa. Inikah akhir penyomblang annya? Jadi, acara penyomblangan ini akan tamat dengan ending gue pemenangnya. I win, you lose.
“Dia kelas berapa?” Tanya Gerald.
“Sama. Sekelas kok. Dia itu, pinter, cakep , tinggi, jago basket, ketua kelas, dan bendahara OSIS lagi..” kataku.
“Ooh. Gitu, kenal’in sama gue. Bawa dia besok kesini..” Kata Gerry denga sedikit kesal. sambil keluar dari kamar , disusul Gerald.
“Koko…” namun teriakanku tidak didengar mereka. Ah gampang, gue tinggal minta bantuan Bertus. Kaya di film-film.


Pagi-pagi sekali gue udah berangkat bareng Gerry dan Gerald naik mobil mereka. Gerald yang nyetir. Honda City terbaru berwarna metalik. Sebelum keluar, Gerry berpesan.
“Jam tiga, suruh dia ke rumah , gue mau liat..” Katanya sangar, tidak terima dengan kekalahannya . Mungkin.
Dikelas , pemandangan lagi ngerja’in Pr udah bak kacang goreng. Pr apa ya, kalo gak salah hari ini termasuk hari sibuk. Sebab Pr menumpuk hingga jam tidur gue kemaren berkurang. Dari kimia, fisika dan biologi. Bikin mumet aja. Dan yang tidak mengerjakan termasuk ketua kelas kita, Heribertus.
“Pr apa sih, Ber?” sapaku dan menaruh tas tepat dimeja depan.
“Kimia. Emang lo udah?” tanyanya.
“Udah. Mau lihat? Di meja gue aja.” Ajakku. Bertus mengambil bukunya dan menyontek pekerjaanku.
“Hebat lo. Gue aja nyerah, kemaren aja gue tidur jam 12 gara-gara ini.” Keajaiban!! Cowo itu duduk disebelahku. Terus terang aja, aku langsung minta bantuannya. Agar kedua kokoku gak lagi ngurus’in kisah cinta adik bontotnya. Uang cepek ribu ternyata mampu membuat Bertus menganggukkan kepala tanda setuju.
“Shin, gue kasih tau, ya.. supaya mirip kita pacaran, elo pulang bareng gue naik motor gue. Terus , elo panas-panas’in koko elo. Gampangkan?” Gue sih setuju-setuju aja.
“Aduh, Bertus pinter. Thanks ya.. gue ke mobil koko gue dulu..”
Dan benar, sepulang sekolah, biasanya gue balik bareng koko-koko gue. Terus gue bilang aja,
“Ko, gue balik bareng Bertus, ya..” dan saat itu gue berani bertaruh kalo muka mereka berdua merah padam bak kacang goreng. ( kacang goreng lagi? ^^; )
Tapi kami tidak langsung pulang. Kami sempat ke Gading untuk foto bareng dan main bareng. Rupanya Bertus anak yang asik juga. Kira-kira pukul tiga lewat, kami memutuskan untuk ke rumah.
“Shin, gue takut nih, koko elo gak makan orang kan?” tanyanya kuatir, dan yang kuatir bukan hanya ia sendiri termasuk gue serta ketiga koko gue. Kurasa. Untunglah, nyokap bokap lagi ke Semarang ada urusan bisnis , dan pulang sebulan lagi.
Gerry, Gerald dan Melvyn menunggu dengan cemas. Mungkinkah karena aku bontot? Iih, menjijikkan. Diskriminasi. Itulah yang dilakukan ketiga kokoku pada pacar bohonganku. Namun kami berhasil melaluinya dengan sangat baik. Mungkin untuk kelas drama kami memenangkan nilai 99 dengan tingkat kegagalan kurang dari satu persen.


Sekitar seminggu kami berpura-pura pacaran. Dan itu yang membuat gue bener-bener suka sama yang namanya Bertus. Cowok cakep, lembut, pinter, dan itulah yang membuatku tertarik padanya.
Dua minggu kemudian.
“Shin, elo mau balik? Gue anter ya…” Tentu aku tidak menyia-nyiakannya. Di dalam mobil itulah ia menyatakan perasaannya padaku.
“Elo serius kan? Pertamanya kita’kan Cuma bohong-bohongan..” Shintia bertanya meyakinkan.
“Gue mau serius kok sama lo..”
Itulah kata-kata terakhirnya yang aku ingat. Yang aku ingat sekarang adalah, kenyataan bahwa kami telah benar-benar berpacaran tanpa di ketahui kebohongan kami tiga minggu yang lalu oleh ketiga kokoku. Sekali lagi, bilai kebohonganku 100% dan tetap nilai matematikaku 0 besar.

zaman sma


cafe digital

“Heh, Riyu jangan lelet begitu dong!” ucap Chiyu Takaishi pada saudara kembarnya, Riyu.
“Lelet apaan gw udah ngeluang’in waktu pacaran gw ama Sakai!” bentaknya.
“Sudahlah Riyu ,kita ber-6 harus kompak. Untuk N’ jaga kafe DIGITAL ini. Kita harus membantu Rie.” Sakurai Kido,atau lebih akrab disapa Sakai ini adalah pacar Riyu.
Chiyu yang tomboy, Riyu yang gak akrab ama kembarannya, Sakai yang lugu, Tatsu yang lucu, Rie yang manja, Riuji yang dingin adalah sebuah kelompok, ato lebih beken “gank” yang menamai diri mereka dengan kelompok ‘DIGITAL’. Dan liburan musim semi ini mereka ber-6 sedang menjaga kafe milik keluarga Rie.
Rie adalah anak perempuan yang suka baju sexy-sexy. Ia ganjen lagi. Dan Chiyu,sang pemimpin kelompok ini gak suka ama dia. Dia anak yang manja.
“Aduh, loe semua kok kaya gak ikhlas gitu sih ama gue?”
“Gak lagi. Kita semua mo’ bantuin loe. Kita kan temen.” Ucap Tatsu Ishida. Tatsu dipanggil ‘tsuta’ kebalikan dari Tatsu (ta-tsu).
“Ahh..Tsuta makasih ya…” mukanya memerah kaya Tomat, eh kaya cebe dah, eh apa aja dah….
Rie emang suka ama Tatsu. Tapi Tatsu gak kayanya gak suka. Tatsu lebih akrab pada Chiyu. “Heh,loe semua pada ribut sih tuh ada yang mo’pesen.” Kata si dingin, Riuji Izumi yang komplen ama temen-temennya.
“Heh,yang masak, masak aja deh..” Chiyu yang tomboy bersiap menonjok ama Riuji. Riuji memang dingin dan sering berantem ama Chiyu. Tapi tahu kah kalian? Oh ya gak tau, Riuji suka sama Chiyu.
“Heh,tugas loe tau gak sich ngasih daftar menu ama pelanggan.”jawabnya cuek.
”Chiyu, Riuji benar ada yang datang tuh” ucap Riyu yang menjadi kasir dibantu Sakai wah, kebetulan kali ya.Atau… Kalau yang masak Rie sama Riuji. Chiyu dan Tsuta jadi penjamu pelanggan.
Dan tatapan Chiyu tertuju pada seseorang laki-laki tinggi sepertinya anak SMU yang masuk dan langsung duduk disebuah meja kosong. Kafe itu sedang sepi. Lalu Chiyu menuju meja pemuda itu. Dan menyodorkan menu itu.
“Pesan apa ?” pemuda itu langsung menatap wajah Chiyu.Dan panah om cupid menembus dada pemuda itu.Oooh cantiknya gadis ini. Belum tau dia Betapa sangarnya tuh cewe.
“Ada burger ?” tanpa ngeliat daftar menu makanan pria itu langsung bertanya. Sambil menatap muka si cewek sangar.
“Ada.Mau pesan berapa?”
“Eng…dua..ya.. dua…” Chiyu melihat kekanan kiri tak ada orang, “Menunggu seseorang?” tanyanya.
“Ehmm..Ya, Ia akan datang sebentar lagi.”
“Minumnya?”
“Em,kopi aja”
“Baik” Setelah Chiyu pergi pemuda itu langsung memerah mukanya. Wah, kaya Rie. Padahal hari itu hari Minggu, kok sepi.
Chiyu menyerahkan burger itu. Chiyu yang pembawaannya diam, dan jarang untuk tersenyum, hanya menatap sebentar cowo di depannya. Sejurus kemudian, beranjak meninggalkan meja cowo yang sedari tadi memerhatikannya.
Di meja, konter sedang ada Rie yang melamun bosan gara-gara jarang ada yang mampir ke kafenya. Rie salah seorang yang memperhatikan gerak-gerik cowo itu, rupanya dia menyadari bahwa cowo itu memperhatikan langkah Chiyu yang terkesan sombong pada cowo.
“Anak SMU itu memperhatkanmu, Chiyu?”
“Diamlah, dan bekerjalah,..” Chiyu sama sekali tidak menanggapi omongan Rie. Dan beranjak ke dapur melihat kembarannya yang asyik pacaran. Rie yang dicuek’in akhirnya hanya mengangkat bahu.
Satu-satunya pelanggan disana hanya anak cowo keren SMU itu. Dan kemudian, membawa kopi serta burger menuju meja konter tempat beradanya Rie. Rie jadi sedikit salting.
“Hai.. Anak yang tadi melayaniku itu siapa namanya?”
“Cewe beringas tadi? Ooh, itu Chiyu. Pantas. Dari tadi kamu memperhatikan Chiyu itu melulu. Naksir ya,?” Tanya Rie genit.
“Ah, ngga.. Boleh tau nomor Hpnya ga?” Rie yang merasa nyomblang’in akhirnya mengeluarkan ponselnya untuk memberikan nomor Hp yang diminta pemuda itu. Namanya Robbie. Anak SMU yang lagi cabut dari sekolahnya.


“Chiyu, lo gak denger kalo Hp lo bunyi?” teriak Riyu yang terganggu mendengar dering ponsel Chiyu. Chiyu yang sedang asyik maen PS2 akhirnya meninggalkan kegemarannya dan menuju kamar utnuk mengambil ponsel PDA 02-nya.
Seseorang meneleponnya, yang pasti yang tidak dikenalnya.
“Hallo,” katanya “Iya, benar disini Chiyu..” “Apa? Robi? Robi siapa ya?” tak ada dimemorinya orang bernama Robi. “Ooh, Robbie yang tadi siang ke kafe Digital?” pasti orang SMU itu.
“Kenapa? Mau ngomong apa? Udah gini aja, ketemuan di depan kafe Digital. Ya udah ya, bye..” sesaat kemudian Chiyu menutup pembicarannya.
“Siapa?” Tanya Riyu lagi asyik maen Harvest Moon.
“Brengsek. Rie. Gampang banget kasih nomor Hp gue ke orang yang gak gue kenal sama sekali..” Riyu sama sekali gak ngerti.
“Maksud lo apa’an sih? Gue gak ngartos tau.”
“Gini, lo inget’kan anak SMU yang tadi mampir ke cafe Digital. Kata Rie emang tu anak ngeliat’in gue. Tapi gue gak percaya. Gue bukan tipe cewe kege-eran. Taunya Tu cowo deket’in Rie, dan Tanya nomor hp gue. Begonya lagi, dikasih…” umpatnya penuh amarah.
“Terus yang nelpon lo tadi cowo itu? Ada perlu apa?”
“Tau. Yang jelas, ngajak gue ketemu’an di depan kafe Digital. Bilang’in mami gue ke rumah Tsuta. Sampe mami tau, gue ketemuan ama cowo, awas lo.” Tudingnya.



Cowo tadi siang itu ada tepat di depan kafe Digital. Chiyu takut setengah mati. Sebelumnya dia gak pernah berurusan sama anak SMU. Namun Chiyu mencoba tenang.
Cowo itu mengajak Chiyu ke sebuah cafe tempat makan.
“Kenapa? Nyokap gue nyuruh gue cepet pulang neeh..”
“Gini gue minta bantuan lo. Gue punya adek cowo namanya Eza. Dia baru putus sama cewenya, Karen. Karen udah pindah ke Aussie. Eza gak bisa percaya kenyataan. Sampe sekarang dia masih mengharapkan Karen untuk balik. Gue minta bantuan dari lo untuk ngaku jadi Karen.”
“Heh? Gue Chiyu bukan Karen..”
“Gue ngerti, tapi muka lo sama persis kaya Karen Please.. gue gak mau liat adek kesayangan gue putus harapan.” Bukan hanya itu cowo yang bernama Robbie itu cerita segalanya. Chiyu tergerak hatinya maka, dia setuju.
Begitu Chiyu bersedia, mereka langsung menuju rumah besar milik Robbie. Disanalah ada Eza, benar apa kata Robbie, Eza seperti orang gak diurus.
Chiyu mengaku dirinya dengan Karen. Eza amat terhibur. Namun pada akhirnya Robbie bercerita bahwa orang itu bukan Karen melainkan Chiyu. Eza akhirnya sadar bahwa orang yanga amat dicintainya sudah gak mungkin kembali akhirnya. Eza dapat menerima.
Pada akhirnya, Eza serta Chiyu saling ada kecocokan. Eza sempat mengatakan cintanya pada Chiyu. Namun ditolak. Chiyu hanya menganggap Eza kawan. Namun Eza tetap jadi sahabat Chiyu. Dan bergabung pada kelompok DIGITAL.


---Tamat---

boneka felice

Sekitar seminggu yang lalu, mami berkata begini—aku agak lupa “Feli, Henry besok datang. Kamu libur’kan? Jemput kakakmu di airport ya! Mami gak bisa jemput. Ada acara.”
Intinya gitu’deh. Kakak gue yang sekolah di Jogya, bakal datang ke Jakarta, dan intinya—gue disuruh jemput. Cukup sudah siksaan buat gue.
Sekarang minggu pertama Henry berada di Jakarta. Tu’anak biar kakak gue, tetep aja gak pernah ngobrol ma’ gue. Henry kuliah di Univ.Gajahmada jurusan hukum. Umur kami terpaut cukup lama, mengingat gue baru kelas 2 SMP.


Dan ini bahkan lebih menyebalkan dari kedatangan kakakku yang bete’in abis itu. Bonyok pergi keluar kota selama kurang-lebih seminggu. Gila aja! Artinya gue bakal serumah bareng kakak yang amat gak pernah ngomong. Sok bossy lagi. Mentang-mentang anak pertama, cowok, udah kuliah lagi.
Mami-papi baru berangkat ke Palangkaraya kemarin, tentu diantar Henry pake mobil. Aku juga ikut nganter. Mau tau ada kejadian apa setelah mami-papi pergi? Pas balik dari airport, seenak hatinya dia ngomong,
“Eh, lu balik naik angkot aja, gue mau maen..”
“Iih, gitu banget! Kalo gue nyasar gimana? Lo mau tanggung jawab?” jawab gue ngasal asalkan tidak ditinggal sendiri.
“Udah sana turun,” Henry sama sekali tidak memandangku ketika kami berbicara. Dia anggap apa aku ini? Cuek banget deh, sumpah.
“Gini aja deh. Gue minta duit naik taksi. Lo gak mikir, dari halim ke Pondok Indah tuh, jauh banget. Sekarang udah malam lagi…” ujarku dengan memelas.
Henry tidak menjawab komplenku, dia cuma diem aja. Gak memalingkan mukanya barang sekali padaku. Sebal rasanya. Karena gue dicuek’in, akhirnya gue keluar juga dari mobil CRV itu. Mobil itu melesat, tentu melesat berlainan arah dengan rumah kami.


Untungnya, Tuhan masih sayang padaku, gue bisa balik ke rumah dalam keadaan selamat. Walau sempet nyasar.
Malamnya, jam sepuluh gue udah tidur. Jam dua belas malem, pintu digedor. Rrumah gue emang gak ada pembokat. Karena nyokap ibu rumah tangga. Seenak hatinya dari luar, mahluk planet itu berteriak,
“Woi!!! Buka’in pintu dong! Ini’kan rumah gue. Gue gak boleh masuk??!!” dengan kata-kata kasar lainnya, Henry membuatku terbangun dan membukakan pintu. Habis dibukakan dia juga gak bilang terima kasih. Jijik banget.


Pagi ini, sekolah libur. Jadi abis bangun, langsung nongkrong di depan teve, sambil makan cemilan. Henry belum bangun, bodo. Tiba-tiba taro ukuran besar yang gue makan direbut. Pas gue liat ke belakang, itu Henry.
Tanpa rasa bersalah, dia gak ngomong sesuatu ke gue. Justru ke arah dapur.
“Heh.. itu’kan taro gue. Balik’kin Henry…”
“Ooh, lo tau nama gue. Gue aja gak tau nama lo.”
“Gak peduli. Balikkin makanan gue.”
“Gue ini kakak lo.” What? Tanpa menoleh sedikit pun?
“Bodo.”
“Lo gak sadar? Badan lo tuh gendut. Jadi gak usah makan lagi.” Katanya sambil asyik menikmati makanan yang bukan haknya. Tapi bedanya, dia udah melihat kearahku. Gue ke makan dalem-nya omongan dia.
“Hen, cowo gue aja gak pernah ngomong kayak gitu. Lo, kakak kandung gue sendiri malah kayak gitu. Lo tuh’ jahat banget..” gue cuma bisa nangis ke kamar gue dilantai satu.
Sesuai perkiraan gue, Henry terus mengunyah taro gue. Dan dia tidak menatap gue lagi. Tanpa rasa bersalah. Urat malunya udah lepas kali.
Hiks..Hiks..

Kok kakak gue kayak gitu sih? Kayaknya dua tahun yang lalu, sikapnya gak sejelek itu deh. Sekarang dia lebih parah. Gue bete. Kenapa dia pake acara balik ke Jakarta semoga dia cepet-cepet balik ke Jogja.
Kalo dipikir-pikir adik macam apa aku ini. Masa’ kakak balik ke rumah bukannya seneng, malah doain semoga cepet-cepet balik. Tapi Henry`nya dulu’an sih. Dia aja gak tau nama gue. Adeknya. Gila’kan?

Gue cuma bisa nangis dipelukkan boneka kesayangan gue. Boneka panda ukuran besar yang tingginya sama kayak gue. Boneka cokelat itu masih bersih,walaupun umurnya dua tahun.Itu hadiah pertama dari Alex. Cowo gue.
Kita udah jadian dua tahun. Gak tau kenapa gue sayang banget sama dia. Dari seluruh hadiah dia yang paling berkesan cuma panda yang bernama Maximo itu.
Karena gini waktu Alex nembak, boneka itu sudah ada di meja sekolah gue, pas gue dateng. Di kalung Maximo ada surat isinya pokoknya nembak dari Alex. Alex emang gebetan gue selama beberapa bulan terakhir. Dan kita jadian sampe sekarang.
Gue udah membaik. Dari pada mikir Henry yang gak jelas itu. Tiba-tiba dia datang, buka pintu, dan seenak perutnya teriak-teriak.

“Heh, lo’kan cewe. Masak dong! Mau makan apa gue?”
“Perut-perut lo ini. Urusan apa sama gue. Lagian lo udah dikasih duit ama bonyok’kan? Beli aja.”
Gue gak natap muka Henry, karena masih memeluk erat-erat Maximo. Yang gue tau tiba-tiba Henry narik Maximo. Mungkin dia marah besar gara-gara gue berani bentak omongan dia. Tangisan gue kian lama kian membesar.

“Henry! Henry ! Jangan ini boneka kesayangan gue..” tangis gue dan mencoba merebut Maximo dari tangan alien itu. Tapi sudah pasti, seratus persen gagal. Dan mata gue membelak sebesar-besarnya melihat dengan tampang penuh kebencian, dan penuh kemurkaan Henry merobek-robek isi perut Maximo menggunakan pisau yang kebetulan ada di atas lemari.

“Henry, Henry jangan…” isak gue di ranjang, dan menatapi isi badan maximo hancur lebur. Dan saat itu’lah gue pingsan. Gue nggak sadar apa yang terjadi setelah itu;

Dengan tatapan puas Henry memandangi boneka besar yang sudah tidak ada isinya itu. Kapas-kapas busa-busa didalamnya berterbangan di kamar adiknya, kalo gak salah namanya Feli. Soalnya maminya sering memanggil, “Feli..”
Anehnya, jeritan adiknya yang marah bonekanya dirusakkan tidak terdengar lagi. Begitu memandangi ranjang besar itu, Henry melihat anak perempuan yang kecil, kurus, putih, manis itu tergeletak pingsan di atas ranjang, di pipinya masih jelas terlihat bekas tangis air mata.
Henry meninggalkan boneka ancur itu, lalu mendekat ke adiknya.
“Feli..” rupanya urat kasihan Henry masih ada, jelas malah. Dengan rasa kasihan dia duduk disamping Feli, mengangkat badan Feli ke badannya. Dan memandangi adiknya itu.
“Mirip ya, sama gue,” kata Henry dalam hati. Dia merasa amat bersalah, bersikap begitu pada adiknya. Saat itulah Feli terbangun. Begitu melihat kakaknya yang kasar dia langsung menjauh,dipojok ranjang, dengan penuh ketakutan bersembunyi di balik bantal.
“Ngapain lo?” teriak Feli.
“Sory, gue bikin lo pingsan.” Ucap Henry dan memandangi muka Feli dengan amat serius. Seharusnya Feli pingsan lagi, melihat kakaknya berubah sedrastis itu.
Di perlakukan begitu, Feli jadi aneh sendiri. Namun ia tidak akan memaafkan orang yang membunuh Maximo.
“Diam! Lo jangan sok merasa bersalah, setelah apa yang lo laku’in ke Maximo.”
“Maximo? Jadi nama boneka lo Maximo. Jelek banget..”
“Itu..itu boneka kesayangan gue dari cowo gue. Lo jahat banget…” Feli menangis lagi. Tiba-tiba Henry meluk gue yang lagi meluk bantal, mungkin dia sangat merasa bersalah. Ku akui itu. Kakak gue ganteng banget. Tiba-tiba dia bercerita. Sumpah, baru kali ini gue merasa kakak gue nganggep keberadaan gue.
“Sory, gue ke’inget mantan gue. Dia cewe pertama yang gue sayang. Dia juga sama kayak lo, sayang banget sama boneka panda yang mirip kayak boneka lo. Itu hadiah pertama gue untuk dia. Tiba-tiba aja sebulan yang lalu dia minta putus. Semua kado dari gue dibalikkin. Termasuk boneka panda yang selama ini dia sayang. Inget itu, gue trauma tiap liat boneka. Makanya gue benci banget, ngeliat boneka. Sory ya, Felice..”
What? Dia inget nama lengkap gue? Kejutan apa lagi setelah ini?
“Ooh, gitu. Terus kok semenjak balik sikap lo sama gue jadi kasar banget?”
“Semenjak putus, gue gak bisa langsung deket sama cewe..”
Kakak gue udah balik. Yah setidaknya tidak seburuk ketika datang, datang tanpa senyum sedikit pun padaku. Namun Henry udah minta maaf, hubungan gue membaik. Dan kita cepet akrab lho. Bagus lah!!! =>


TAMAT

ayah tiri ezher

Astaga gak ada apa yang bolehin gue berlama-lama di ranjang? Gerutu Ezher. Seorang cewek manis tiba-tiba berkata,
“Ezi bangun! Jangan sampe bokap tau elo masih molor.” Perintah kakak kedua Ezher—atau disapa Ezi—namanya Anggie. Umur mereka terpaut setahun.
“Berisik lo, udah sana, jangan ganggu gue.”
“Ezi, cici gak mau denger kamu berantem lagi sama ayah. Makanya kamu harus nurutin perintah ayah.” Anggie amat menyayangi Ezher,
“Ayah? Orang macam Bernad lu panggil ayah? Seumur hidup, gue gak mau panggil dia ayah. Ayah gue cuma Papi Rangga. Inget itu..”

Gak sopan, memanggil ayah dengan namanya. Ezher memang orang yang paling tidak setuju waktu Mami Nasya mengatakan akan menikah kembali dengan duda bernama Bernad.
Ayah kandung Ezher meninggal setahun yang lalu akibat kanker otak. Kakak pertama Ezher, Martinus Jozzie yang disapa Jozzie juga tidak setuju, tapi dia hanya diam saja, mengambil keputusan untuk kuliah di luar kota dan pisah rumah dengan keluarganya. Yang kedua Meysiska Anggie, disapa Anggie. Dia kakak yang paling menyayangi Marianus Ezher, anak terbengal.

“Lo tuh, cici kasih tau baik-baik, tetep gak ngerti. Terimalah Mami udah menikah dengan ayah Bernad. Tapi tetap Papi kita Papi Rangga.” Anggie mencoba menenangkan. Ezher diam saja.
“Cepet mandi, jangan bikin cici tambah dongkol.” Ezher paham benar itu.


*******


Ezher bangun, turun ke bawah lalu ke kamar mandi. Ada Mami dan Bernad di ruang makan sambil berbincang, anak bontot itu mendekati Mami, lalu mencium kedua pipi Maminya.
“Pagi, Mi..” tanpa rasa bersalah, dia ke kamar mandi.
“Lho, Ezher, beri salam Papi Bernad dong..” Mami menghardik.
“Oh, ya.. seinget Ezher, Papi Ezher cuma papi Rangga lhoo.” Ezher berlari ke kamar mandi tanpa mendengar celotehan Mami dan Papi.
“Lo tuh...ih, dikasih tau ribuan kali, puas ya, bikin Mami sedih terus?” Anggie sedikit geram setelah mengetahui adiknya tidak memberi salam pada ayah. Ezher yang sudah mandi sedang di kamar membetulkan seragam putih abu-abunya—tanpa memandang Anggie.
“Diem, gue udah terlalu banyak berkorban.” Dia keluar kamar, Anggie menahan amarahnya.
“Ezher, mobil kamu Papi jual ya!” itu kata-kata pertama yang diucapkan Bernad. Ezi yang sedang makan melototi ayahnya itu tanpa rasa takut sedikit pun.
“Jangan panggil diri lo Papi, lo bukan Papi gue. Dan gue gak mau mobil gue lo jual. Itu peninggalan Papi Rangga yang paling gue sayang..” bentak Ezher.
“Ezi, Ezi, denger omongan Papi dulu dong. Kamu langsung memo- tong aja… Gak sopan.” Kata Mami pelan—membela si brengsek Bernad.
“Iya, maksud Papi baik kok. Mobil itu’kan udah agak lama. Bagaimana kalo kamu pakai mobil Papi yang Altis.” Huh! Sok, mau ngambil hati gue ya? Sory, gue gak kemakan rayuan lo. Umpat Ezher dalam hati.

“Ogah. Gak usah sok baik deh lo. Gue udah seneng sama BMW gue. Altis tuh lebih murah dari mobil gue. Biar baru sekalipun. Lo aja yang make, lo kan cowok murahan..” tidak! Pikir Anggie. Baru kemaren Ezher beran- tem, masa pagi-pagi berantem lagi?
PLAK!!
Tamparan keras mendarat di pipi Ezher. Jelas ini bukan tamparan yang pertama.
“Selama ini Papi udah sabar dengan kelakuan kamu, tapi mulai saat ini, Papi akan lebih tegas dengan kamu. Ingat itu!! Mami, Papi berangkat..” Bernad keluar, mencium kening Mami, yang tampak shock atas tamparan yang dihadiahkan untuk putra bungsunya.

Mami mulai menangis. Papi udah pergi. Anggie mulai menenangkan,
“Udah Mi, jangan di pikirin. Ezher sama Papi udah sama-sama dewasa. Pasti tau apa yang semestinya.”
“Gue udah dewasa, Anggie.. Tapi Bernad, muka dewasa kelakuan anak kecil.” Kata-kata kasar selalu tersedia untuk Bernad.
“Ezher, please..jangan bikin Mami tambah pusing.” Mulut mami bergetar.
“Mami, yang seharusnya pusing itu aku. Serumah sama keparat macam Bernad.”
“Papi. Panggil dia Papi!!” perintah Mami agak keras. Ezher yang amat marah berdiri memberontak, dan berteriak keras-keras.
“Dia bukan Papi aku..” Ezher langsung berlari menuju garasi, mobil corolla Altis milik Bernad udah gak ada.
“Mang Jaka, buka pintu!” Ezher masih sedikit sopan pada pembantu-pembantu di rumahnya. Kecuali ayahnya. Mang Jaka membukakan pintu. Mobil BMW keluaran tahun 2002 itu melesat jauh.

Ponsel milik Ezher bergetar. Itu dari Anggie. “Kenapa lo?” tanya- nya malas. “Heh, Mami sedih banget, lo jadi pemberontak. Apalagi omongan lo barusan.” Katanya.
“Gue lebih sedih lagi punya bokap kaya Bernad.” Balasnya. “Lo gak punya rasa kasihan, Zher. Mami setahun yang lalu kehilangan Papi. Sekarang udah ketemu sama lelaki yang sesuai dengan dirinya, justru lo nggak terima, sekarang lo jadi ancur. Mami yang menderita…Kasihan Zher,” cicinya itu mencoba memberi pengertian.
“Lebih kasihan lagi gue, tiap hari harus berantem sama anjing macam Bernad.” Sebelum menutup pembicaraan, Anggie berkata, dengan amat jelas,
“Lo egois.” Namun sepertinya Ezi gak denger. Apa pura-pura gak denger?!
“Ya ampun, kurang apa tiap hari berantem sama bokap kamu?” cewek Ezher yang bernama Chella juga udah bosen denger keluhan cowoknya. Ezher sedang mengerjakan Pr fisika, mencontek pekerjaan Chella.
“Udah bosen sih, tapi mau gimana lagi? Masa bokap minta mmobil aku di jual. Enak aja. Itu peninggalan Papi kesayangan aku. Walau gimana juga, gak boleh di jual. Titik.” Kesal Ezher. “Iya, sayang, dari pada kamu bete. Gimana kalo entar kita nonton. Ada film bagus lho..!” ajak Chella. Ezher melirik kemudian tersenyum sambil berkata “Iya sayang..”


*******


Sepulang sekolah, setelah nonton, Ezher balik. Bokapnya belom pulang. Anggie masih kuliah. Cuma ada nyokapnya. Bernad itu kebetulan teman sekantor mendiang papi Rangga, bekerja menggantikan posisi papi Rangga yang menjabat menjadi presiden direktur.
“Hai Mi..” ucap Ezher kemudian mencium pipi Maminya.
“Ezher, sebenarnya kenapa sih, kamu benci banget sama Papi Bernad?” Tanya Mami. Ezher yang tidak mau membuat Maminya sedih, lalu duduk bersebelahan. “Gini lho Mi. Bernad’kan sebelum Papi Rangga meninggal, teman sekantor Papi yang jabatan lebih rendah. Pasti Bernad sengaja mendekati Mami supaya bisa mendapatkan jabatan Papi dan seluruh harta kekayaannya Papi…” begitulah penjelasan dari Ezher.
“Itu gak rasional Zher. Dari mana kamu tau kalau Papi Bernad berbuat begitu? Itu memang kebetulan Mami sama Papi Bernad memang berjodoh. Yang kebetulan Papi Bernad itu dahulu teman sekantor Papi Rangga..” sebelum omongan Mami Nasya tuntas, seenak perutnya Ezher berdiri menantang, kemudian berteriak,
“Pokoknya Mami udah ngecewa’in Ezher. Mami dulu bilang gak ada orang Mami cintai kecuali Papi Rangga. Ketika Papi meninggal, mami seenaknya melupakan Papi dan kemudian menikahi si Brengsek Bernad—yang gak jelas itu. Dan satu hal yang musti mami ketahui, APAPUN CARA AKAN EZHER LAKUKAN DEMI MEMISAHKAN MAMI DARI SI BRENGSEK BERNAD!!!!” Ezher kabur naik ke atas. Hingga malam, tidak keluar. Seharian penuh Mami Nasya menangis. Jawaban itu jawaban terparah dari yang paling parah yang pernah diungkapkan oleh Ezher.


*******


“Zher..Lo ngapain mami lagi?” kata Anggie di luar kamar Ezher.
“Gue gak ngapain-ngapain kok.”
“Nggak ngapa-ngapain bagaimana?! Sampai mami nangis kayak begitu. Lo sinting kali ya! Pasti Mami nyesel banget pernah punya anak macam lo. Kalo bisa Mami pasti pingin cuma punya anak Jozzie sama gue. Durhaka lo, bikin nyokap nangis melulu tiap hari.” Dengan santai dijawab,
“Gue juga nyesel banget nyokap ketemu sama cowok kayak Bernad.”
“Heh!! Masalah lo sama Bernad. Jangan disangkut paut’in sama nyokap dong. Lo secara gak langsung bikin nyokap mati perlahan-lahan dengan ulah lo. Lo mau kehilangan nyokap setelah kehilangan bokap?”
“Diem. Lo gak usah ikut campur.” Karena merasa kalah, Anggie meninggalkan kamar adiknya yang error itu.
Pagi-pagi sekali, Ezher sudah bangun tanpa harus dibangunkan oleh kakaknya. Langsung dia mandi. Padahal hari itu hari Minggu. Papi sudah mendengar dari Mami kalau kemarin Ezher bertengkar mulut dengan Maminya, bahkan yang lebih parah menyebut dirinya brengsek.
Papi sama Mami sudah membicarakan hal itu, lalu memikirkan jalan keluar terbaik. Hanya cara keras yang dapat menyadarkan Ezher akan kelakukannya yang di luar batas. Papi naik ke lantai atas, lalu diam-diam mengambil kunci mobil BMW Ezher dan ketiga ponsel Ezher. Yakni 9300, N-93, N-70 nya.

“Ezher, Papi mau bicara..” kata Papi setelah Ezher keluar kamar mandi. Ezher melirik ayahnya dengan tatapan acuh. Mami disebelahnya hanya menunduk. Mungkin masih memikirkan hal yang kemarin.
“Ntar dulu. Ezher mau ganti baju..” karena dia hanya mengenakan celana pendek.
“Udah gak perlu. Duduk.”
Ezher menurutinya. “Baiklah, kemarin Papi udah memperingatkan, Papi mau keras pada kamu. Papi dengar, kamu mengatai Papi brengsek. Papi sebenarnya ingin marah besar pada kamu. Tapi, Papi gak bisa, kamu anak Papi—“

“Tarik ucapanmu itu bajingan!!!!!” Ezher menggebrak meja makan. Kata-kata itu sangat, sangat parah. Mami menutup kuping serta memejamkan matanya. Dan mulai melanjutkan omongan kasarnya.
“Aku bukan anakmu. Kamu juga bukan ayahku. Kamu cuma sampah—Ya, sampah. Gak lebih.”
“Diam. Jangan membantah.” Suami kedua Nasya berdiri dan kemu- dian menggebrak meja juga.
“Nanti kita lihat, kamu masih bisa berlaku seenak perutmu lagi tidak.” lanjutnya.
“Apa? Apa yang akan kamu lakukan?” tantang Ezher. Tanpa rasa takut.
“Mulai saat ini, mobilmu kami sita..” tuan tanpa rasa kasihan itu mengangkat kunci mobil Ezher dengan penuh kemenangan. Ezher mulai pucat, keringat mengucur didahinya.
Celaka tiga belas, si Bernad pasti diam-diam masuk kamar gue waktu gue mandi. Apa lagi yang akan dia lakukan sama gue?

“Dan mulai saat ini, kamu gak boleh pegang hp lagi.” Ketiga hp kebanggaan Ezher juga ditangan duda tak tahu malu itu. Ezher tampak shock—tampang penuh dengan kekalahan. Dia terdiam dan duduk dengan lesu. Bernad juga duduk dan berkata.
“Uang jajanmu selama seminggu kami kurangi. Sekarang, kamu mau berulah apa lagi, jagoan?” tantang Bernad. Belum puas apa dia? Menyengsarakan Ezher. Ezher perlahan menatap Maminya.
“Mami diam aja, Ezher digitu’in?” muka itu, muka tampang tak percaya. Mami tidak berbuat apa saja, untuk anak bontotnya yang seharusnya paling disayang itu.
“Heh, anak sok pintar, perlu kau tau. Ibumu yang punya rencana ini. Aku sih, sebenarnya kurang setuju menerapkan sistem keras pada anakku. Tapi ibumu yang minta. Apa boleh buat?”
“Eh IBLIS! Puas lo mobil gue disita? Lo merasa menang, menang atas Mami gue, menang atas rumah gue, serta menang atas kekayaan yang selama ini mati-matian Papi gue cari. Lo segampangnya ngambil itu semua, seperti ngambil permen dari anak kecil.” Kemudian Ezher melanjutkan,
“Dan inget, jangan sok pemurah sama gue. Gue anak tiri lo, pasti lo tega. Sistem keras sama anak lo? Gimana lo bisa nerapin? Lo aja gak punya anak.” Ezher masih memberontak—lalu naik ke kamarnya yang atas.
“Dasar! Anak tak tau diri…”

*******

Pintu kamar dibantingnya. Seluruh benda peninggalan Papinya sudah gak ditangannya. Cici yang paling menyayanginya masuk kamar. Ezher terdiam terpaku disudut kamar. Anggie mendekatinya kemudian meme- luknya.
“Zher, cici tau perasaan kamu. Kamu pasti sedih banget..”
“Anggie. Lepas.” Anggie melepaskan pelukannya. Kemudian Anggie berkata lagi. “Kamu pasti bikin Papi Bernad sedih, dengan memanggilnya dengan Brengsek dan iblis.” dan bersandar ditembok disamping Ezher.
“Persetan dengan Bernad. Lo kalo mau ceramah’in gue, gak usah repot-repot. Mending elu keluar aja.” Kata Ezher dingin. Anggie akhirnya keluar kamar.
Setengah jam berlalu, Ezher masih dengan posisinya semula. Kala itulah Papi Bernad datang penuh kemenangan. “Hari ini kamu gak boleh kemana-mana..” Bernad tersenyum sinis, mengambil kunci kemudian mengunci kamar Ezher. Ezher hanya mengamatinya tanpa bergerak terlebih menjawab. Hanya diam seribu bahasa. Kalah besar dia.


Apa? Apa yang harus gue lakukan? Kalo gue diem, artinya gue menyerah pada si Brengsek Bernad. Dan dia akan merasa penuh kemenangan, dibela 100% sama Mami. Dia selanjutnya akan menguasai keluarga gue, rumah gue, dan seluruh harta Papi Rangga.
Nggak..Nggak. Itu gak boleh terjadi, Gue musti berbuat sesuatu. Tapi gimana? Gue dikunci’in. Mobil gue diambil. Hp gue diambil. Emang sialan tuh Bernad. Tapi lu pikir lu bisa menang dari Ezher? Kalo gak punya seribu akal bukan Marianus Ezher namanya.
Ezher beranjak dari tempatnya yang semula. Lalu mengamati jendela. Melongok ke bawah. Hanya ada pohon rindang. Dibawah hanya terlihat Mbak Dela, pembantunya sedang menjemur pakaian. Didekat tempat menjemur pakaian ada garasi yang penuh dengan empat mobil—serta empat motor. Corolla Altis, milik Bernad, Innouva mobil keluarga, BMW milik Ezher serta Baleno milik Anggie. Motor hanya pajangan. Jarang digunakan karena sang tuan rumah masing-masing punya mobil.

Ide bagus melintas di benak Ezher. Dia telah memikirkan matang-matang. Kemudian dia berganti pakaian. Kini dia memakai baju keluaran Distro terbarunya yang berwarna cokelat. Celana panjang crem dan topi billabong kesayangannya pemberian Anggie.
Ide itu dilakukan. Perlahan-lahan Ezher membuka jendela. Kemudian dengan adanya pohon rindang membuat dia dapat turun kebawah. Hati-hati, itu kunci utamanya. Akhirnya berhasil. Rencana B segera dilaksanakan. Mengendap-endap agar seluruh keluarga gak tau kalo dia kabur dari lantai atas.
Untung saat itu pintu gerbang sedang tidak di tutup. Pak Jaka sedang membersihkan mobil Innouva. Ezher tetap fokus dan berjalan menuju jendela kamar Anggie di lantai bawah. Cowok itu mengintip sebentar. Mulai saat ini, rencananya harus dilakukan dengan gerak cepat. Kunci mobil Anggie terlihat. Ada di atas teve. Ezher mengambil sebuah batu agak besar yang ada didekatnya. Jendela Anggie yang kaca semua dengan gampang langsung pecah.

PRANG!!!

Terdengar pecahan benda pecah belah. Ezher sesegera mungkin melompat. Masuk kamar kakaknya lalu mengambil benda yang diingin- kannya. Saat itu terdengar suara.
“Dari mana asal suara itu. Seperti jendela pecah..” itu suara Anggie.
“Non, sepertinya dari lantai satu..” itu suara Mbak Dela, pembantunya yang barusan menjemur pakaian.
Bagus! Sedikit yang sadar bahwa yang pecah itu di kamar Anggie. Sedetik kemudian, Ezher sudah keluar dari kamar Anggie dan sudah ada di garasi. Lalu “Tuit..tuit..” itu pengunci otomatis dari mobil Anggie. Menang besar Ezher kala itu. Kini dirinya sudah selamat masuk ke mobil kakaknya. Dan dengan itu dia bisa kabur.


“Ezher..Mobil gue..!!!” teriak Anggie dari jendela kamarnya yang pecah. Terlambat. Adiknya udah keburu melesat gak kelihatan. Dia baru sadar betapa hebatnya adiknya itu. Omongan yang keluar dari mulutnya bukan hanya bualan. Adiknya demi mendapatkan hal yang diinginkannya sampai kabur lewat pohon memecahkan kaca dan mengambil kunci mobil serta pergi entah kemana.
Bernad mencoba mengejarnnya. Namun gagal. Mengingat Ezher paling jago dalam urusan ngebut. Baik ngebut naik motor atau mobil. Entah kemana anak itu.


Mobil baleno curian Ezher terparkir di kos-kosan putra yang lumayan jauh dari rumahnya. Itu kos-kosan kakak tertuanya, Jozzie. Jozzie udah tau segala duduk perkara.
“Jago!!!!! Dapet ide dari mana lo? Kabur lewat pohon, mecah’in kaca terus bawa kabur mobil Mey? Sumpah, gue jadi kakak lo bangga banget.” Entah bercanda atau serius tapi Jozzie tampak tenang-tenang aja. Atau bahkan senang.
“Jozzie. Gue serius,” Jozzie masih ketawa-ketawa.
“Iya, iya. Terus sekarang rencana lo apa?” tanyanya.
“Yang penting sekarang lo harus bantu’in gue. Lo gak setuju’kan Mami nikah sama Bernad? Maka dari itu kalo Mami tanya gue disini apa ngga, lo harus sembunyi’in gue. Jangan boleh’in bonyok pada kesini. Oke?!” pinta Ezher.
“Beres. Beres. Gue juga pengennya bertindak begitu. Tapi gue inget. Gue anak pertama gue harus jadi kebanggaan nyokap. Gue udah janji sama bokap sebelum meninggal bakal bikin nyokap bahagia.”
“Gue bakal bahagia kalo bisa ngabis’in Bernad. Apa pun akan gue lakukan…”

*******

Rupanya tempat yang dituju Ezher ialah kos-kosan kakak pertamanya. Jozzie bakal bantu segala upaya yang dilakukan Ezher. Karena Jozzie dulu tiap hari kerjaannya bertengar mulut dengan Bernad, namun mengingat kewajibannyanya sebagai putra sulung, dia mengambil keputusan pisah rumah.
“Ide..ide…ayo!! ide..?!” kata-kata itu berulang kali keluar dari mulut Ezher.
“Lo ngapain sih? Baca mantra ya?” gertak Jozzie dan memberikan segelas susu hangat pada adiknya.
“Ide!! Ide!! Gue butuh ide..” teriaknya hampir loncat dari tempat duduknya.
“Ya udah, tenang aja. Entar juga dapet. Minum susu dulu, gih!” Ezher mulai agak tenang. Dan menikmati susu panas.


Ezher sedang tertidur. Sementara Jozzie mengerjakan suatu tugas di laptopnya. Kemudian ponsel N-9500nya bergetar. Dari Anggie pasti menanyakan Ezher.

“Halo, Ada apa Mey?” hanya Jozzie yang memanggil Anggie dengan Mey. Drama besar antara Ezher dan Jozzie dimulai.
“Apa? Ezher bisa senekat itu? Gila.. Emang berantemnya kenapa?” Tanyanya pura-pura gak tau.
“Ooh….”
“Engga.. engga tuh Ezher gak kemari kok. Kalo kemari udah pasti gue bilangin..” bisa banget jawabnya.
“Wah, sory yaa.. Mey. Bukannya nolak. Urusan kuliah gue lagi seabrek. Jadi gue gak bisa bantu cari’in Ezi. Sory ya..” dan kata penutupnya.
“Da..dah.. adikku..” untuk kelas drama Jozzie dapat nilai 100.
Malamnya, Jozzie harus bekerja semalaman karena harus ngebut ngerjain tugas, soalnya dikumpulinnya besok. Makanya malam hari dia gak tidur. Setelah makam malam, Ezher langsung naik ranjang. Malam itu malam yang amat berbeda. Tidak harus perang mulut dengan Bernad.

Saat itulah Ezher bermimpi. Dia berada di tempat yang putih bersih penuh dengan awan. Di tengah kekagetannya, Papi yang amat disayanginya muncul. Papi yang gak bisa tergantikan oleh Papi mana pun. Papi Rangga.
“Papi..!!” Ezher setengah gak percaya akan penglihatannya.
“Hai…. Anak Papi udah besar ya! Udah kelas tiga kamu harus giat belajar untuk lulus-lulusan entar.” Kata Papi penuh senyum. Senyum melegakan.
“Baik. Baik, Pi..” seketika itu juga semangat hidup Ezher muncul.
“Ada permintaan Papi untukmu Ezi.” Papi melanjutkan.
“Kamu harus membuat Mami bahagia.” Ucapnya pelan.
“Sudah, aku sudah membuat Mami bahagia. Namun kehadiran Bernad membuat Mami gak bahagia.” Balasnya.
“Tidak. Tidak. Kamu yang bikin Mami sedih. Kamu setiap hari bertengar mulut dengan Papi Bernad. Itu juga yang membuat Papi Rangga sedih.”
“Tapi, Pi.. Bernad bukan ayahku. Ayahku cuma Papi Rangga.” Ezher sedikit naik darah.
“Sudahlah, Mamimu sudah bahagia dengan Papi Bernad. Kamu jangan egois, pokoknya panggil Papi Bernad dengan sebutan Papi. Ok?!” Papi Rangga masih terus tersenyum.

“Pulanglah ke rumah Zher..” Semasa hidup, walau beliau sedang memiliki masalah besar dia selalu tersenyum.
“Kamu harus membuat Mami Nasya bahagia..” Ezher tidak menjawab. Kemudian Papi lenyap tahu-tahu dia bangun dari ranjang dengan kenringat mengucur di dahi. Ezher terdiam memikirkan mimpinya itu. Untuk apa Papi memasuki mimpinya?

Jozzie melihat adiknya terbangun. Keringat mengucur deras. Dia meninggalkan laptopnya lalu duduk di tepi ranjang.
“Lo keringetan? AC-nya kurang dingin ya? Kayaknya udah dingin banget deh..” Jozzie mengutak-atik remote AC kamarnya. Ezher merebut remote itu. Jozzie dapat merasakan ada yang gak beres. “Zher, lo kenapa?”

“Papi masuk mimpi gue.” Jawabnya menunduk.
“Papi? Papi Rangga? Dia..Dia bilang apa Zher? Bilang apa?”
“Dia nyuruh gue pulang kerumah, nerima Bernad. Panggil Bernad dengan sebutan Papi. Dan bla..bla..bla..” Jozzie kemudian berkata,
“Dulu gue juga mimpi’in Papi. Waktu itu gue masih sering berantem sama Bernad. Terus kata Papi gue sebagai anak sulung harus bikin mami bahagia. Keputusan yang gue ambil, gue ngekost. Asalkan gak berantem melulu dengan Bernad.”

“Papi juga nyuruh gue begitu. Tapi, Sory Pi! Permintaan Papi yang satu itu gak bisa Ezher laku’in. Banyak hal yang harus Ezher laku’in.”

kemudian dia minum air putih hangat dan tertidur kembali. Jozzie hanya menggelengkan kepala tanda gak ngerti omongan adiknya.
Pagi-pagi Jozzie masih sibuk dengan laptopnya. Semaleman gak tidur. Demi dapat nilai A dari dosen. Ezher setelah makan pagi langsung nonton Tv. Dia meminjam baju kakaknya—walau agak kebesaran. “Joz, lo punya DVD apa aja?” tanyanya dan mulai membuka lemari yang penuh dengan DVD koleksi Jozzie. “Lo mau nonton apa? Nonton DVD bokep, Ya?”

“Gak. Gue gak bokep-bokep banget kok. Gue gak naksir sama yang begitu’an. Wah, lo sering nonton DVD bokep ya? Gue bilang’in nyokap lho!!” Jozzie tertawa kecil. “Ngga..temen-temen gue doang yang suka. Gue sih ikut nonton aja. Udah sana pilih sendiri. Jangan ajak gue ngomong. Waktunya udah mepet nih!” Jozzie kembali menatap laptopnya.
“WAR OF THE WORLD? Wah kayaknya seru nih.. Gue nonton ini aja ah..” DVD itu mulai dimasukkan ke DVD player. Ezher menonton acara yang bertajuk perang itu dengan seksama. Sambil menikmati cemilan Chitatos ukuran besar. Saat menonton acara itulah, ide besar terbersit dalam otak Ezher.
Ide untuk melenyapkan Bernad dari muka bumi.

“Lo balik dari kuliah jam berapa, Joz?” Tanya Ezher. Jozzie menoleh, sedikit jengkel.
“Elo nih, udah gue kasih tau jangan ganggu gue, gue balik kira-kira jam empat. Emang kenapa? Lo gak berani di rumah sendiri?” Ezher ngeless.
“Ye.. gue cuma minta di beliin sate ayam kesukaan gue. Untuk makan malem.”
“Oh, iya..iya beres. Asalkan sekarang lo gak ganggu kerjaan gue.” Iya,iya Jozzie mulai sekarang gue gak bakal bisa ganggu elo lagi, untuk selamanya. Itu yang terakhir. Mungkin gue juga gak bisa makan sate ayam lagi. Gumam Ezher.
Pukul tiga siang, Ezher tau betul Anggie jam segini udah balik dari kampus. Ide besar itu dilakukannya. Ezher segera menulis surat untuk Jozzie
dan ditaruhnya di muka kulkas. Surat itu berbunyi.



Untuk : kakakku Jozzie

Jozz , gue balik ke rumah.. Gue udah dapet ide untuk lenyap’in Bernad dari muka bumi. Yaitu hanya dengan cara membunuhnya . Gue tau gue bakal bikin sedih Mami , Papi Rangga , elu juga Anggie . Tapi hanya itu satu-satunya cara agar gue tenang Mami gak hidup dengan si biadab—Bernad .
Sory, gue gak bisa makan sate ayam pesenan gue . Gue tau gue gak bakal makan sate itu. Mending elo makan bareng mami sama Anggie . Sory juga ganggu’in kerjaan lo. Mulai sekarang gue gak bakalan ganggu tugas kuliah lo . Untuk selamanya . Bilang mami sama Anggie gue minta maaf bikin mereka sedih terus .
Setelah gue bunuh Bernad gue bakal ngapus dosa gue dengan bunuh gue sendiri. Gak ada gunanya gue hidup . Gue udah tenang kalo mami gak hidup dengan Bernad . Biar aja mami cuma hidup sama elo, Anggie, Mbak Dela dan Pak Jaka.
Gue titip mami ya!

Marianus Ezher




Ezher sadar betul ketika menulis surat itu. Lalu dia mengambil kunci mobil Anggie dan mulai menyalakan mesin. Ia juga sadar ini kesempatan terakhirnya untuk balap-balapan mobil. Walau jaraknya jauh, tapi kalau Ezi yang nyetir cepet sampainya. Rumah besar sudah ada di hadapannya. Diam-diam baleno itu di parkir di luar rumah agar semua orang gak curiga. Rencana untuk melenyapkan Bernad segera di lancarkan. Ezher masih di mobil lalu membulatkan tekatnya.

Pukul setengah empat, Jozzie balik. Baliknya lebih cepat dari biasanya karena dia mau menghabiskan sate ayam bareng Ezher.
“Ezher..sate ayamnya udah dateng.Makan bareng, Yuk!” sunyi senyap. Lho kemana ni anak? Dia melihat suatu tulisan tertempel pada muka kulkas. Di bacanya surat itu dengan seksama. Surat dari Ezher.

Apa? Ezher mau bunuh Bernad terus bunuh dirinya sendiri? Gak..gak mungkin. Gak mungkin Ezher senekat itu. Tapi gak ada yang gak mungkin bagi Ezher. Dia orangnya nekatan. Seketika itulah tubuh Jozie melemas seketika. Sate ayam di tangannya terlepas. Jatuh ke lantai. Namun, Harus, Harus ada sesuatu yang harus dilakukan oleh gue. Pikir Jozzie. Mungkin belum telat gue mencegah itu semua. Jozzie langsung kembali ke mobil dan menuju rumahnya.


Ezher sudah masuk rumah. Hening, hari Senin seperti ini Bernad jam segini udah pulang. Pasti. Suara Anggie terdengar dari kamarnya. Kebiasannya menyetel lagu dengan volume gila-gilaan. Mata Ezher membidik dimana adanya pisau, ada. Pisau itu ada di lemari dekat dengan posisi bersembunyinya. Pisau buah itu diambilnya.
Rupanya Mami sedang berbincang-bincang dengan Bernad di ruang makan. Ini, pemandangan ini yang paling dibenci Ezher. Maminya ketawa-ketawa dengan Bernad. Ezher benar-benar murka. Langsung, dia muncul di tengah ruangan dan berteriak.

“BRENGSEK, BIADAB, BAJINGAN, SETAN, IBLIS, jauhi Mami gue.. SEKARANG!!!” Teriak Ezher ditengah ruangan. Maminya hanya menatap tanpa bicara. Ezher muncul tiba-tiba dengan mengacung-acungkan pisau. Bernad beranjak dari tempatnya, berdiri seolah menjegah sesuatu terjadi karena kenekatan Ezher.
“Ezher, Ezher, apa maksud semua ini, Nak?” Ezher melototi Bernad.
“Kita bisa’kan bicara baik-baik? Jauhkan benda itu dari hadapanku!!” perintahnya.
“Benda ini gak akan jauh-jauh darimu!!” maksud Ezher jelas sudah. Ketika dia berlari dan dengan cepat dia menusukkan benda itu tepat di dada ayah tirinya. Puas!! Itu ialah muka Ezher ketika itu. Ezher saat itu seperti anjing gila yang memburu mangsanya. Bernad tergolek seketika. Pasti mengenai jantung. Seketika itu juga Bernad meninggal. Ezher menarik pisau itu lagi. Dan mengacungkannya lagi. Penuh darah, darah seorang bajingan.

Mami yang melihat kejadian itu di depan matanya segera berteriak histeris.
“AAAAA….!!!!!!” Teriakan itu membuat Anggie, Mbak Pur, Pak Jaka menghampiri tuannya. Mbak Dela dan Pak Jaka hanya dapat terdiam melihat kejadian ironis itu. Mereka melihat Pak Bernad tergolek tanpa nyawa. Anggie begitu pula. Melihat ayahnya mati bersimbah darah dan didekatnya ada Ezher, pasti yang membunuh ialah Ezher. Ia langsung menghampiri Maminya dan memeluk erat-erat. Tanpa dapat berkata-kata lagi.

“EZHEEER.. Kamu tega sekali..” ucap mami.
“Mami, hanya ini cara agar Bernad gak muncul dalam keluarga kita.”
“PUAS? PUAS KAMU MEMBUNUH AYAHMU? Dan sekarang, kamu juga akan membunuh Mami’kan?” Ezher menggeleng.
“Gak, gak mungkin Mi. Mami orang yang paling Ezher sayang.” Anggie akhirnya berani mengambil sikap.
“Kalo gitu kenapa kamu bunuh Papi Bernad. Kamu bikin kecewa Mami. Kamu bikin cici sedih, begitu juga koko Jozzie. Kamu puas? Atau kurang? ..pembunuh…” Anggie menangis dengan volume gila-gilaan.
“Ezi.. kamu sangat Mami sayangi. Kalau kau puas membunuh ayah tirimu, bunuh juga Mami, Nak!!” Saat itu Jozzie datang. Mobil baleno curian Ezher terparkir di luar rumah. Dia harus cepat sebelum semuanya terlambat. Harus ada yang dilakukannya sebagai kakak pertama. Dan mendapati Mbak Pur dan Pak Jaka menangis hebat, lalu pemandangan memilukan. Mami yang dipeluk oleh Anggie. Anggie menangis tiada henti serta pemandangan yang amat tidak disangkanya. Ezher tega membunuh ayah tirinya. Ezher memegang pisau bersimbah darah. Bernad terkulai meninggal.

“Ezher!! Gue gak sangka perbuatan lo kayak gini. Gak ada cara lain apa?” teriaknya.
“Jozzie..” Mami serta Anggie tak percaya Jozzie datang. Tau dari mana dia kalau Ezher ada disini. Apa ini cuma kebetulan. Ezher menatapi kakak sulungnya. Namun dia tidak menanggapinya. Dan menatap mami lagi.
“Zher!! Bunuh.. Bunuh Mami juga, Nak!! Kalau itu membuatmu puas…” tangis Mami penuh kepiluan dalam hatinya. Ezher menjawab.
“Nggak, nggak mungkin Mi. Mami adalah orang yang Ezher sayang. Papi Rangga juga Ezher sayang. Begitu juga dengan Anggie, Jozzie, Mbak Dela dan Pak Jaka.” Tiap-tiap orang yang disebutnya ditatap Ezher satu persatu dengan tatapan lirih. Kemudian dia berkata lagi.

“Orang yang paling gak Ezher sayang ada dua. Yaitu si bajingan Bernad, dan diri Ezher sendiri….” Maksud dari perkataan itu ialah dia amat benci dirinya. Karena kebencian yang amat dalam, dia menusuk dirinya dengan pisau yang tadi menghujam Bernad.
Ezher serta Bernad tidur tanpa napas selamanya.
“EZHEEEERRR…” teriak Anggie yang amat sayang dengan Ezher, dia berlari menuju kakak sulungnya, Jozzie memeluknya penuh sedih.
“Ko..Ko.. Ezher.. Ezher meninggal.. Ngga..ngga..aku gak mau dia meninggal. Dia adik yang paling aku sayang.” Tangisnya pada pelukkan Jozzie. Jozzie juga menangis. Air matanya jatuh pada rambut Anggie.

“Mey, ini salah koko. Selama ini Ezher kabur ke tempat koko. Tapi koko gak sangka Ezher dapat senekat ini..” Mami langsung pingsan begitu melihat pisau menusuk putra bungsunya. Pak Jaka serta Mbak Pur mencoba membangunkan nyonyanya.
“Ezher.. ini pasti yang membuatmu amat puas, buktinya walau telah meninggal dia tetap tersenyum setelah berhasil membunuh Papi Bernad..” ungkap Jozzie.
Anggie melepaskan pelukkan dan berlari menuju adiknya yang meninggal dengan senyum itu, dipeluknya erat-erat.
“Ezher!! Ezher.. jangan tinggalin cici. Cici sangat sayang sama kamu. Bangun.. Bangun Zher..” tangisnya dan memeluk Ezher erta-erat seperti tak ingin melepasnya. Ezher tertidur pulas penuh senyum untuk selamanya.
“Sudahlah, Mey. Ini sudah jadi takdir Ezher..”


Tiga bulan kemudian, Jozzie sudah wisuda. Dia sudah lulus dan menggantikan posisi ayahnya Bernad. Jozzie juga sudah balik ke rumahnya yang semula. Sudah tidak kost lagi. Sebab buat apa, dia kasihan Anggie tinggal sendiri hanya bersama Mbak Dela dan Pak Jaka. Enam bulan setelah meninggalnya Bernad dan Ezher, mami juga menyusul. Mami meninggal karena terserang penyakit stroke. Kata dokter, stroke yang menyebabkan mami meninggal karena mami terlalu sering Shock, dan banyak beban pikiran. Tentu saja shock serta beban pikiran itu bermula dari Marianus Ezher.

Tamat